Postkolonial dalam Kajian Komunikasi

Komunikasi dalam asal usul kata berasal dari kata bahasa latin yakni communicare yang berarti memberitahukan. Kata tersebut kemudian berkembang dalam bahasa inggris communication yang artinya proses pertukaran informasi, konsep, ide, gagasan, perasaan, dan lain-lain antara dua orang atau lebih. Cherry dalam Hall (1983) sebagaimana dikutip dalam Cangara (2005:18), menyatakan: penggunaan istilah komunikasi bersumber pada pendekatan latin communis yang artinya membuat kebersamaan atau membangun kebersamaan antara dua orang atau lebih sehingga memungkin bersinonim dengan communico yang artinya membagi.

Defenisi lain dari komunikasi dalam buku Widjaja (200:15) yakni suatu sistem yang berusaha menyusun prinsip-prinsip dalam bentuk yang tepat mengenai pembentukan pendapat serta sikap-sikap. Defenisi yang disampaikan Widjaja ini bertumpu pada pengertian komunikasi Carl I. Hovland (dalam Widjaja, 2000:15) yang mengemukakan komunikasi adalah proses dimana seorang individu melanjutkan rangsangan untuk mengubah tingkah laku individu-individu yang lain. Maka, dalam definisinya mengenai komunikasi itu sendiri, Hovland menyatakan proses komunikasi itu adalah suatu rangsangan-rangsangan yang secara sadar atau tidak dapat mengubah dari apa yang dilihat atau dirasakan oleh komunikan. Sehingga komunikasi bukan hanya penyampaian pesan saja melainkan ada perubahan-perubahan yang menjadi tujuan dari pesan yang disampaikan tersebut. Lebih lanjut, Suranto (2010:22) mengartikan komunikasi sebagai suatu proses pengiriman pesan atau simbol-simbol yang mengandung arti dari seorang sumber atau komunikator kepada seorang penerima atau komunikan dengan tujuan tertentu.

Jika ditinjau dari beberapa aspek komunikasi diatas, komunikasi merupakan suatu proses yang terjadi dan dimaknai oleh manusia. Sebagai sebuah proses, Onong Uchjana Effendy, membagi komunikasi menjadi dua tahap, yakni pertama; proses komunikasi primer, yang merupakan penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (simbol) sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa, isyarat, gambar, warna, dan lain sebagainya yang secara langsung mampu “menerjemahkan” pikiran dan atau perasaan komunikator kepada komunikan. Kedua, proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media atau dalam istilah Effendi disebut sebagai proses sekunder. (Effendy, 2004: 11&16)

Dalam budaya, konsep komunikasi ini dapat diamati dalam simbol-simbol kebudayaan yang diberi atau terberikan oleh kelompok atau individu. Salah satu proses komunikasi yang menggunakan simbol-simbol dalam kebudayaan yakni bahasa. Namun pada umumnya, ragam interaksi bahasa yang digunakan berbeda-beda dikarenakan latar belakang budaya asal yang juga berbeda. Budaya menampakkan diri dalam pola-pola bahasa dan dalam bentuk-bentuk kegiatan dan perilaku yang berfungsi sebagai model bagi tindakan-tindakan penyesuaian diri dan gaya komunikasi dalam suatu masyarakat di suatu lingkungan geografis tertentu dan pada konteks tertentu pula.

Meskipun ada perbedaan antar budaya, Liliweri (2014:294) menyatakan manusia akan sealalu menggunakan bahasa sebagai sistem simbol yang dapat menyatakan pikiran dan tindakan mereka. Oleh karena itu, Mulyana dan Rakhmat (2010:14) berpendapat, untuk menghasilkan makna dari perasaan, pikiran dan tindakan di dalam simbol komunikasi maka dibutuhkan proses penyandian (encoding). Dalam definisi ini, kebudayaan dilhat sebagai “mekanisme kontrol” bagi kelakuan dan tindakan-tindakan manusia (Geertz, 1973:3, 1992:30), atau sebagai “pola-pola bagi kelakuan manusia” (Keesing & Keesing, 1971). Dengan demikian kebudayaan merupakan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, resep-resep, rencana-rencana, dan strategi-strategi, yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif yang digunakan secara kolektif oleh manusia yang memilikinya sesuai dengan lingkungan yang dihadapinya (Spradley, 1972:212).

Sebagai sebuah pentunjuk, simbol-simbol kebudayaan menghasilkan kelakuan dan benda-benda kebudayaan tertentu, sebagaimana yang diperlukan sesuai dengan motivasi yang dipunyai ataupun rangsangan yang dihadapi. Disamping itu, dalam setiap kebudayaan juga terdapat petunjuk, rencana dan strategi yang antara lain berisikan pengetahuan untuk mengidentifikasi tujuan-tujuan serta cara-cara untuk mencapai sesuatu dengan sebaik-baiknya, berbagai ukuran untuk menilai berbagai tujuan hidup dan menentukan mana yang lebih penting dan berbagai cara untuk mengidentifikasi adanya bahaya-bahaya yang mengancam dan asalnya, serta bagaimana mengatasinya (Spradley, 1972:209).

Di dalam budaya, masyarakat mengalami pembentukan identitas akibat adanya proses simbolik tersebut. Identitas sebagaimana dimaksud yakni identitas yang menurut Stuart Hall (1990:393) dapat dilihat dari dua cara pandang, yaitu identitas budaya sebagai sebuah asli (identity as being) dan identitas budaya sebagai proses bentukan/menjadi (identity as becoming). Pada identity as becoming inilah, kebudayaan dikaitkan dengan kehidupan diluar identitas asli suatu masyarakat. “Proses menjadi” kemudian berkaitan erat dengan pengalaman sejarah suatu kelompok yang didalamnya terdapat individu-individu. Identitas tersebut antara lain nampak dari sejarah kolonial yang dialami suatu bangsa. Hal yang mendasari proses pertukaran budaya ini terjadi melalui identifikasi dan internalisasi simbol dan lambang masyarakat pribumi dan masyarakat penjajah. Simbol-simbol tersebut diyakini tidak hanya bermakna tunggal, namun lebih daripada itu simbol sebagai proses komunikasi dapat pula menjadi bentuk sekaligus usaha penjajah untuk tetap mempertahankan kekuasaan di bekas daerah jajahannya atau kolonialisme bentuk baru.

Dalam hal ini budaya berperan sebagai elemen resistan, karena kenyataannya budaya merupakan manifestasi yang bersifat ideologis atau idealis, dari realitas sejarah dan fisik masyarakat (bangsa) yang mengalami dominasi (Cabral 1979:73). Pada budaya terdapat sintesis yang dinamis, yang dibuat dan dibangun oleh kesadaran sosial untuk menyelesaikan konflik pada setiap tahapan evolusi, yaitu konflik yang ditimbulkan oleh adanya pengaruh faktor ekstemal yaitu dominasi dan tekanan dari budaya penjajah, untuk bertahan hidup serta mencari kemajuan. Dalam budaya terletak kapasitas (tanggung-jawab) untuk membentuk dan menjamin kelanjutan sejarah, dan pada saat yang bersamaan juga memastikan atau menentukan prospek evolusi dan kemajuan sebuah masyarakat (bangsa). Maka dapatlah dipahami bahwa untuk menjamin kontinuitas praktek kolonialisme, kaum imperialis perlu untuk menekan atau memandekkan perkembangan budaya terjajah/ tradisional/Timur, agar bisa terus didominasi oleh budaya penjajah/modern/Barat.

Said (1995:12) mengatakan disamping suatu praktik, kebudayaan adalah sutu proses komunikasi yang menghasilkan representasi, bahkan memiliki nilai estetis. Oleh karena itu sejalan dengan pemikiran tentang diferensi budaya tersebut, postkolonialisme menolak pandangan monosentris terhadap pengalaman manusia, dan sebaliknya mengakui dan menghargai keberadaan pluralisme serta multikulturalisme budaya melalui sinkretisasi dan hibriditas (Mishra, 2007:41). Pluralisme kemudian didefinisikan sebagai suatu keyakinan, dimana di dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok politis, ideologis, kultural atau etnis, tidak ada satu kelompok pun yang dominan, yang di dalamnya terdapat penghargaan akan diferensi.

Representasi identitas inilah yang menjadi kritik pemikiran dalam kajian postkolonial, yakni untuk mengedepankan atau memulihkan kembali budaya yang tertindas tersebut sebagai identitas yang sesungguhnya dari bangsa yang pernah dipengaruhi oleh proses imperial. Dalam kaitannya dengan keilmuan komunikasi, teoritisi postkolonial Homi K.Babha membuktikan bahwa sebagai tanda, model kolonialisme selalu bersifat ambigu, polisemik. Karena itu konstruksi penjajah/modern/Barat mengenai dirinya maupun mengenai terjajah/ tradisional/Timur dapat memperoleh pemaknaan yang bermacam-macam dan bertentangan.

Dalam pluralisme budaya tersebut, diakui adanya keyakinan akan hak hidup dan ruang ekspresi yang sama dan sejajar bagi setiap kelompok budaya yang ada didalamnya. Sementara, multikulturalisme adalah gerakan bagi pengakuan dan penerimaan akan keanekaragaman, perbedaan, dan identitas, khususnya dalam sebuah negara yang terdiri dari berbagai kelompok minoritas, akan tetapi dikuasai oleh kelompok kultural dominan (Piliang 2001:16). Atas dasar hal tersebut, lalu muncul dua tipe kolonialisme yakni berhubungan dengan penaklukan fisik, serta penaklukan pikiran, jiwa, dan budaya. Kedua tipe ini, seringkali telah menumbuhkan produk-produk budaya baru, misalkan saja ada penciptaan seni dan budaya. Begitu pula penciptaan sastra yang memuat subkultur tertentu, yang diam-diam menolak tradisi penjajah.