Melepas Palestina, Menggenggam Bangsa

Beberapa tahun yang lalu, ketika mengikuti Rakornas Komisi Penyiaran Indonesia di Jalan Asia Afrika Bandung Jawa Barat, saya mengimpikan tempat itu mengukir sejarah bagi kemerdekaan suatu bangsa. Dan impian itu ternyata ada serta terjadi. Pertemuan Pejabat Senior pada Peringatan 60 Tahun Konferensi Asia Afrika (KAA), Minggu (19/4), sepakat bulat mendukung kemerdekaan bangsa Palestina. Deklarasi ini menegaskan kembali dukungan anggota KAA terhadap kemerdekaan bangsa tertindas, sekaligus mengusahakan negara itu menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Keniscayaan bagi masyarakat internasional, bahwa invasi Israel di Jalur Gaza sudah masuk kategori kejahatan perang. Sudah tidak terhitung berapa kali tank-tank tempur Israel membabi-buta, memborbardir dan memuntahkan amunisinya ke Jalur Gaza, Palestina, membantai jutaan sipil hingga anak-anak kecil tak berdosa. Namun, masih saja Dewan HAM dan Dewan Keamanan PBB, yang katanya hendak menjunjung tinggi hak asasi manusia dan mewujudkan perdamaian dunia itu, terseot-seot langkahnya untuk bertindak.

Pada Juli 2014 lalu, Dewan Hak Asasi Manusia PBB telah berbulat hati untuk melakukan investigasi independen atas tuduhan kejahatan perang yang dilakukan Israel di jalur gaza. 29 negara anggota PBB mendukung penuh investigasi itu, 17 negara abstain, tapi AS memveto dan akhirnya kandas. Begitupun halnya yang terjadi pada sidang Dewan Keamana PBB, pada 31 desember 2014 lalu. Asa Palestina untuk mendapatkan resolusi dari DK PBB pun pupus sudah; AS memveto lagi.

Dalam hal terjadinya pelanggaran berat terhadap HAM, sedangkan PBB tidak bisa mengambil tindakan untuk mengatasinya, karena semua keputusan untuk itu diveto, apakah masyarakat internasional hanya menonton begitu saja? Mana negara-negara di dunia telah yang sepakat berkoar tentang perlunya keharusan untuk menegakkan dan menghormati HAM itu? Ataukah “kemanusiaan” sudah tidak punya manusia lagi?

Seorang ahli hukum internasional, Nicholas J Wheeler dalam bukunya The Legality of Allied Force mengatakan bahwa; jika PBB gagal untuk mempertahankan prinsip-prinsip HAM, maka negara sebagai subjek hukum internasional memiliki hak hukum untuk memaksakan prinsip-prinsip HAM itu, bila perlu dengan kekuatan bersenjata. Konsep inilah yang dalam literatur hukum internasional dikenal dengan Humanitarian Intervention.

Pada prinsipnya, humanitarian intervention merupakan kekuatan bersenjata oleh suatu negara untuk semata-mata melindungi warga negara lain di negara di mana warga negara itu bertempat tinggal dan memiliki nasionalitasnya dari pelanggaran berat terhadap hak asasi mereka (Anthony Clark Arend dan Robert J. Beck: 1993). Dalam hal ini, intervensi murni bertujuan untuk menegakkan HAM dan misi kemanusiaan.

Dalam praktek yang terjadi, selama ini penyebutan istilah humanitarian intervention sering ditujukan pada peristiwa penggunaan kekuatan bersenjata oleh suatu negara terhadap subjek-subjek hukum internasional yang berada di wilayah negara lain. Misalnya, intervensi militer oleh Vietnam atas Kamboja yang mengakhiri Rezim Polpot, hal ini dinilai oleh banyak kalangan sebagai humanitarian intervention karena mengakhiri pembantaian sekitar dua juta rakyat Kamboja.

India juga mengaku bahwa campur tangan militernya di Pakistan Timur tahun 1971 adalah humanitarian intervention, karena mengakhiri apa yang dituduhkan sebagai bencana pembunuhan masal rakyat Pakistan Timur oleh Angkatan Bersenjata Pakistan. Begitu juga halnya dengan intervensi yang dilakukan oleh NATO dalam Perang Balkan, untuk menyelamatkan Warga Bosnia di Herzegovina dan Armenia di Kosovo.

Jika merujuk kepada Pasal 2 Paragraf 4 Piagam PBB, bisa saja humanitarian intervention itu berupa ancaman dan penggunaan angkatan bersenjata. Ancaman dapat diartikan sebagai pernyataan atau ultimatum akan menggunakan kekuatan bersenjata oleh suatu pihak terhadap pihak lainnya jika syarat-syarat tertentu yang dibebankan pihak yang akan menggunakan kekuatan bersenjata terhadap pihak yang akan menjadi sasaran penggunaan penggunaan kekuatan bersenjata tidak dipenuhi oleh pihak yang akan menjadi sasaran tersebut.

Sedangkan penggunaan kekuatan bersenjata, berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 41 Piagam PBB yang kemudian dielaborasi dalam Pasal 42 Piagam PBB, dapat diartikan sebagai tindakan yang menggunakan Angkatan Darat, Laut dan Udara. Tindakan-tindakan tersebut antara lain berupa demonstrations, blockade, and other operations by air, sea, or land forces.

Dua Cara Hentikan

Pelanggaran HAM Berat

Secara umum ada dua cara yang digunakan untuk menghentikan pelanggaran berat terhadap HAM dalam humanitarian intervention ini; pertama, membentuk zona aman dan kemudian menggunakan kekuatan bersenjata untuk membebaskan penduduk sipil yang sedang atau mengalami pelanggaran HAM dan menggiring mereka ke zona aman, untuk kemudian dibentengi atau dilindungi oleh pasukan pengintervensi.

Namun, cara ini sering kurang efektif karena biang penyebabnya masih bebas berkeliaran, sehingga tetap membuka kemungkinan terjadinya pelanggran HAM bilamana pasukan pelindung berada pada kondisi yang lebih lemah dari pasukan pelaku pelanggaran. Hal ini terbukti pada kasus pembantaian sekitar delapan ribu Pengungsi Muslim Bosnia yang dijaga oleh pasukan NATO (Belanda), oleh pasukan Serbia Bosnia di Screbrenica pada tahun 1995.

Cara kedua adalah, dengan menyerang langsung individu-individu yang menjadi keladi terjadinya pelanggaran HAM tersebut, dengan prioritas utama menangkap hidup-hidup para pelakunya. Penangkapan ini dapat dijustifikasi untuk tujuan mengadili dan menghukum para pelaku pelanggaran tersebut.

Setelah penangkapan ada dua pilihan, yakni jika masih ada kemauan dan kemampuan dari negara yang bersangkutan untuk mengadili para pelaku, maka pelakunya harus diserahkan kepada pengadilan nasional negara bersangkutan untuk diadili. Sebaliknya jika tidak mau dan tidak mampu maka para pelaku harus diseret ke Pengadilan Kejahatan Internasional.

Dalam perspektif hukum internasional, dari sudut jus in bello (hukum yang mengatur tentang metoda dan alat berperang serta perlindungan korban perang), humanitarian intervention memeliki keabsahan didasarkan pada tiga hal, yakni; pertama, penggunaan kekuatan bersenjata harus sesuai dengan tujuan yakni menghentikan pelanggaran berat terhadap HAM.

Kedua, penggunaan kekuatan bersenjata harus merupakan pilihan terbaik dari semua alternatif yang tersedia, dan ketiga, kerugian yang ditimbulkan oleh penggunaan kekuatan bersenjata tidak melebihi dari keuntungan yang diperoleh darinya. Dalam kenyataannya, termasuk pada kasus kejahatan perang Israel di Palestina, tidak ada ancaman yang dapat mencegah atau menghentikan massive violation of humanitarian rights semacam ini. Hanya dengan penggunaan humanitarian intervention kejahatan perang ini dapat diakhiri.

Tinggalkan komentar