Perjanjian Bangsa – Perjanjian Bawah Tangan

Membalas kunjungan President Tiongkok Xi Jinping tahun lalu, akhir Mei lalu PM India Narendra Modi gantian mengunjungi negara tetangganya itu melalui kunjungan ke­ne­garaan selama tiga hari. Kunjungan Modi dapat dimaknai banyak hal dari segi politik, ekonomi, maupun militer. India dan Tiongkok adalah tetangga yang secara historis tidak terlalu harmonis, tetapi memiliki talian kebudayaan dan sejarah yang sangat dekat. Tensi antar keduanya berulang kali bermunculan, bahkan sampai perang singkat di tahun 1962 terkait masalah perba­tasan, di mana India kalah saat itu.

Menarik memang untuk memaknai kunju­ngan Modi di Tiongkok, dan kunjungan serupa Jinping di New Delhi tahun lalu. Apakah saling mengunjungi ini menunjukkan bahwa India mulai melupakan problem masa lalunya dengan Tiongkok, ataukah Tiongkok menurunkan arogansi hegemonistiknya agar mendapat partner yang sepadan dalam menghadapi “gerak-gerik” AS, khususnya di Asia Pasifik.

Banyak memang yang menyangsikan India dan Tiongkok akan jalan berdampingan membangun hegemoni bersama. Rivalitas sejarah dan masalah perbatasan membuat hubungan keduanya seperti miyak dan air. Akhir tahun lalu, kapal selam Angkatan Laut Tiongkok berlabuh di Kolombo, Sri Lanka. Mereka mengamankan pasokan-pasokan minyak dari Timur Tengah menuju Tiongkok melalui Samudera Hindia. Tiongkok membangun jaringan pelabuhan di Sri Lanka dan Bangladesh demi kepentingan ini.

Masalah utama antara India dan Tiongkok adalah keperca­ya­an (trust). Jika India terus memandang Tiongkok dari perspektif realis, maka kerjasama antar keduanya akan sulit terwujud. Paradigma Modi harus berubah. Ia harus mulai membangun kepercayaan. Kepercayaan bahwa sebenarnya Tiongkok bukan ancaman, melainkan mitra strategis untuk membangun hegemoni masa depan negaranya.

Ingat juga, India dan Tiongkok tergabung dalam BRICS (Bra­zil, Russia, India, China, South Africa). Gabungan negara-negara potential superpower, dengan India di dalamnya. Karena itulah, penulis optimis bahwa India di bawah Modi yang sangat moderat, dengan Tiongkok di bawah Jinping yang selalu terbuka terhadap kerjasama, dapat menjalin kemitraan strategis demi pembentukan hegemoni bersama.

Kekuatan India dan Tiongkok

Membentuk hegemoni bersama bukanlah tanpa alasan. Dua negara ini adalah dua negara terbesar di dunia. Populasi penduduk mereka saja mencapai 1/3 penduduk dunia. Secara ekonomi, tahun 2015, kedua negara ini akan menjadi salah satu dari tiga kekuatan ekonomi besar dunia, selain Amerika Serikat. Sebagai pemain regional, India adalah negara terbesar pengaruhnya di Asia Selatan. Begitu pula dengan Tiongkok, yang pengaruhnya tidak hanya di Asia Timur, tapi sudah mendunia, dengan menyaingi AS dan Uni Eropa.

Berfungsinya institusi demokrasi, seperti pemilu yang berjalan relatif tanpa gangguan dan stabilnya pemerintahan di New Delhi menjadi salah satu alasan mengapa India adalah negara yang memiliki potensi besar. Keberhasilan demokrasi adalah kunci sukses stabilitas ekonomi. India di bidang ekonomi mampu mengombinasikan dengan optimal antara pertumbuhan ekonomi dengan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakatnya, melalui maksimalisasi penggunaan energi yang bisa dirasakan semua kalangan.

India pun mampu mensinergikan jumlah populasinya yang banyak dengan kemam­puan teknologi yang canggih. Kekuatan India di bidang teknologi informasi membuat kegiatan ekonomi berjalan, dan secara tidak langsung memberdayakan penduduknya. Populasi India yang umumnya kaum muda, ditambah India adalah negara kedua dengan populasi berbahasa Inggris terbanyak sangat membantu keberhasilan sektor teknologi informasi ini.

Di tengah ekspansi besar Tiongkok ke seluruh dunia, tak terkecuali Asia Selatan, India harusnya bisa melihat peluang ini sebagai tawaran kerjasama yang menjanjikan daripada menganggap Tiongkok sebagai ancaman. Saat ini, volume perdagangan Tingkok dengan AS 10 kali lebih besar daripada dengan India, sekalipun secara geografis mereka berdekatan. Sekalipun nilai perdagangan antar kedua negara tahun lalu sudah mencapai 70 juta dollar, jumlah ini masih sangat kecil dan harus ditingkatkan.

Secara militer, menurut situs Global Fire Power, anggaran pertahanan Tiongkok men­capai 145 miliar dollar AS, kedua di bawah Amerika Serikat. India ada di peringkat sembilan dengan 38 miliar dollar AS. Kombinasi keduanya mencapai 183 miliar dollar. Anggaran pertahan sebesar ini adalah efek deterrence yang sangat besar bagi politik hegemoni kawasan, bahkan dunia.

Bicara anggaran pertahanan, tidak lengkap tanpa bicara alutsistanya. Juga menurut Global Fire Power, India memiliki tentara aktif sebanyak 1.325.000, tank sebanyak 6.464, Multiple-Launch Rocket System (peluncur roket) sebanyak 292, pesawat tempur sebanyak 1.905, kapal korvet sebanyak 25, kapal perusak sebanyak 9, kapal selam sebanyak 15, dan 2 kapal induk (aircraft carriers).

Di pihak Tiongkok, mereka memiliki tentara aktif sebanyak 2.333.000, tank sebanyak 9.150, Multiple-Launch Rocket System (peluncur roket) sebanyak 1.770, pesawat tempur sebanyak 2.860, kapal korvet sebanyak 23, kapal perusak sebanyak 25, kapal selam sebanyak 67, dan 1 kapal indut (aircraft carriers). Dengan kekuatan tempur macam ini, tak heran Tiongkok “pede” menuntut hak atas Laut Tiongkok Selatan, yang klaim wilayahnya juga termasuk Kepulauan Natuna milik kita.

Hegemoni Bersama

India harus mau belajar banyak dari Tiongkok. Lupakan faktor sejarah, lupakan rivalitas, lupakan gengsi kawasan. Modi tak perlu malu “berguru” pada Jinping. Beijing saat ini adalah mitra dagang dan investasi terbesar negara-negara tetangga India di kawasan, sebut saja Bangladesh, Sri Lanka, Nepal, hingga Pakistan. Samudera Hindia, lama-lama akan jadi “mainan” baru Tiong­kok, setelah Laut Tiongkok Selatan. Strategi Tiongkok mendekati negara-negara sekitar India sebenarnya bisa dilihat sebagai cara menutup peran negaranya Gandhi itu di kawasannya sendiri. Tanpa disadari, Tiongkok sebenarnya sudah ada di halaman belakang India.

Selain itu, di banyak sektor India masih ketinggalan dari Tiongkok. Mereka sangat membutuhkan perbaikan dan penambahan infrastruktur, seperti jalanan, pelabuhan, akses-akses ke sumber ekonomi, sampai toilet. Tiongkok berbeda 180 derajat. Negara ini adalah rajanya infrastruktur, yang berani mengucurkan dana triliunan demi pembangu­nan akses-akses ekonomi, sampai militer. Berkolaborasi dengan Tiongkok tidak hanya memperkuat posisi India di dunia internasio­nal, tapi juga memperbaiki kondisi dalam negeri dengan kucuran investasi dari Beijing.

Dengan potensi sedemikian besar, rasanya kedua pemimpin negara (Modi dan Jinping) akan berpikir ulang untuk tetap “memper­tahankan” rivalitas dan gengsi masing-masing. Kunjungan Modi ini sebenarnya adalah langkah awal inisiasi ke arah pembentukan hegemoni bersama antara India dan Tiongkok. Hakekat realisme usang ala Morgenthau sudah tidak lagi relevan diaplikasi dalam percaturan politik interna­sional dewasa ini. Era kerjasama demi hegemoni bersama lebih layak dike­depan­kan.

Tinggalkan komentar