Angeline, Anak dan Anak-Anak

Kekerasan terhadap anak kembali terjadi. Kali ini menimpa Angeline. Bo­cah kecil ber­u­mur 8 tahun. Setelah dinya­takan hilang lebih kurang 3 pekan, gadis malang ini dite­mukan tewas mengenaskan di belakang ru­mahnya. Angeline dibunuh oleh Agus Tai Man­damai, mantan pembantu rumah tang­ga, dari ibu angkatnya, Margriet Megawe.

Tragis memang. Anak ke­cil tak berdosa ini, bukan hanya dibunuh, namun juga diperkosa oleh tersangka. Sadis dan biadad! Kata yang pantas diberikan buat pelaku. Tanpa rasa kasihan, tersang­ka tega mem­bunuh gadis ma­lang ini, di lantai dua rumah ibu angkat Angeline. Peris­tiwa ini terjadi, ketika rumah kosong, Agus membunuh bo­cah tak berdosa itu. Itu pe­ngakuan Agus, kepada apa­rat kepolisian.

Sebelum Angeline dite­mu­kan, pencarian dilakukan. Sampai-sampai, ada 2 Men­teri Kabinet Jokowi-JK, tu­run lapangan, berkun­jung ke rumah Angeline, di Sanur, Denpasar, Bali. Upaya pen­carian diupayakan dengan ber­bagai cara. Namun tak kun­jung ditemu­kan. Akhir­nya, jasad si gadis mungil, dite­mukan di belakang ru­mah­nya. Kerja serius Kepo­lisian Resort Bali berbuah. Kecurigaan mereka terhadap gundukan tanah, ternyata be­tul. Angeline terkubur di da­lamnya, bersa­ma boneka ke­sayangannya. Sontak, berita penemuan jasad Angeline menjadi perhatian media dan masyarakat. Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla, ikut angkat bicara.

Kematian memilukan ini, menjadi duka kelam kehi­dup­an anak Indonesia. Beta­pa tidak. Seorang bocah ke­cil, yang semestinya menik­mati masa-masa ceria, meng­alami hal menyakitkan. Se­belumnya, dari penuturan guru Angeline, bahwa anak ma­lang ini, kelihatan mu­rung dan pendiam. Penam­pil­an­nya kotor dan ditemu­kan bintik-bintik merah di tubuhnya. Sang guru, meli­hat bintik-bintik merah, ke­tika membersihkan tubuh­nya. Aroma tak sedap, me­nye­babkan si guru meman­dikan sang gadis kecil ini, di ruang guru sekolah SDN 12 Sanur, Denpasar, Bali.

Keluarga Bermasalah

Belakangan ini, beberapa kasus kekerasan dan pene­lantaran terhadap anak mere­bak. Terakhir, sebelum kasus Angeline adalah pene­lantar­an 5 orang anak oleh sebuah keluar­ga di Cibubur , Jakarta. Peristiwa memilukan ini terjadi, disebabkan karena orang tua si anak, Utomo Per­mono, ternyata pemakai nar­koba. Barang haram itu di­temukan di rumah pelaku, ketika pihak Kepolisian dan petugas lain, menggeledah seluruh ruangan. Penemuan ini, tentu mengejutkan kita semua, betapa kasus pene­­lan­taran anak ini disebab­kan oleh keluarga bermasalah. Orang tua yang diharapkan menjadi tempat curahan ka­sih sayang, pelindung, peng­ayom dan sete­rusnya, ternya­ta tidak berfungsi. Disfungsi sebagai orang tua yang baik ini, memicu persoalan terha­dap anak.

Demikian juga pada kasus Angeline bahwa orang tua ang­katnya, menurut peme­rik­saan psikiater, diduga cenderung psikopat. Gejala ini, dapat dilihat, ketika 2 orang Menteri datang ke ru­mah Margriet Megawe, ke­tika itu mereka menolak ke­datangan petinggi negeri ini. Padahal tujuan ke-2 Menteri ada­lah untuk kebaikan, men­cari hilangnya Angeline. Ke­mudian dari informasi te­tang­ga, juga membe­rikan gambaran bahwa ke­luarga angkat Angeline, merupakan keluarga tertutup. Mereka ja­rang bersosiali­sasi dengan masyarakat sekitar. Tembok rumah yang tinggi menun­jukkan bahwa perilaku ke­luarga ini memang asosial.

Kembali kepada kondisi Angeline, seperti penuturan gurunya, membuktikan ke­luarga angkatnya adalah ke­luarga bermasalah. Perlaku­an penelantaran terhadap An­geline, dengan memper­ker­jakannya mengurus ayam, sampai-sampai bau tak sedap seperti tahi ayam, menempel ditubuhnya, me­nun­jukkan bahwa keluarga ini tidak perduli terhadap nasib seorang bocah. Bahkan ditubuhnya ditemukan bin­tik-bintik merah, ketika sang guru memandikannya. Tentu perlakuan ini tidak pada tem­patnya, mengingat Angeline adalah anaknya, walau anak angkat.

Bias Gender

Ternyata kasus penelan­taran dan kekera­san terhadap anak, menjadikan perem­pu­an berada pada posisi bias. Kekerasan terhadap Ange­line berbicara. Betapa se­orang perem­puan, bernama Margriet Megawe, sebagai se­orang ibu, tega memperla­kukan anak sede­mikian ke­jam. Padahal bocah seperti Ange­line, memerlukan per­ha­tian dan kasih sayang yang tulus dari seorang perem­puan. Diharap­kan dengan ka­sih dan sayang dari seorang ibu, si anak memperoleh hak­nya. Ternyata untuk Ange­line berbicara lain.

Ada kecenderungan di masyarakat bahwa peran orang tua sebagai pelindung, tempat kasih sayang, dan se­bagainya mulai memudar. Be­tapa tidak. Orang tua kandung Angeline, dengan keterbatasan ekonomi, hanya berusaha melahirkan tanpa mau bertanggung jawab untuk membesarkan si anak. Tanggung jawab orang tua ini diperlukan mengingat anak adalah titipan untuk dipelihara. Rasa tanggung jawab orang tua kepada anak adalah hal mutlak. Bukankah seorang ibu tinggi derajatnya di sisi Tuhan. Islam sendiri memberikan posisi sangat tinggi terhadap kaum perem­puan. Nabi Muhammad SAW sendiri menyatakan bah­wa surga itu berada di­telapak kaki seorang ibu. Bu­kan ditelapak kaki seorang ayah.

Kalimat ini menunjukkan betapa tinggi nilai seorang perempuan. Namun apa yang terjadi, justeru perempuan se­perti kasus Angeline, ber­ada pada kedudukan pa­ling hina dan rendah di mata aga­ma, sosial dan hukum. Peri­laku pembiaran terhadap anak adalah suatu sikap aso­sial dan ahumanis. Semesti­nya kodrat sebagai perem­puan, yang penuh kelembut­an, kasih sayang, penyabar, dan pelindung ada pada se­orang ibu. Kenyataan­nya dalam realita di lingkungan sosial masyarakat kita, be­nih-benih perilaku keibuan semakin lama semakin me­mu­dar.

Masalah sosial ini adalah fakta yang menggejala. Figur seorang ibu, terkikis oleh per­ubahan kehidupan yang serba materia­listik. Ukuran ekonomi menjadi faktor kuat mulai mengikisnya rasa sosial di dalam kehidupan. Han­curnya rasa belas kasih adalah manifestasi dari ukuran material yang me­nguat dan mendominasi. Trend perempuan sekarang diukur dari segi ekonomi. Padahal seharusnya, tam­pilan perempuan didominasi oleh nilai sosial dan cultural, mengingat posisinya dalam melanjutkan keturunan.

Peran Pemerintah

Peristiwa ini sekali lagi, mau tidak mau , memberikan sinyal bahwa peran dan kua­sa pemerintah melemah dan cenderung hilang. Kasus-kasus tentang anak, baik pe­lecehan, kekerasan, penelan­taran dan sebagainya adalah domain pemerintah yang diatur dalam Undang-Un­dang Dasar 1945, pasal 33 ayat 1, berbunyi “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Di samping itu, pasal 28B ayat 2, berbunyi “setiap anak berhak atas kelangsungan hi­dup, tumbuh, dan berkem­bang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Untuk itu, wajib hukumnya jika dalam APBN, anggaran hak anak untuk dipelihara negara men­jadi prioritas utama. Sebab mereka inilah generasi pene­rus yang menggantikan tong­kat kepemimpinan di masa mendatang.

Bukankah kita sekarang dihadapkan pada berbagai per­soalan persaingan global, yang memerlukan SDM han­dal. Sementara pembiaran ne­gara untuk menjaga kua­litas anak terjadi. Ini artinya pemerintah sebagai peme­gang amanat rakyat, telah lepas tanggung jawab. Aneh dan lucu memang melihat ki­nerja pemerintahan saat ini. Uang yang melimpah di da­lam APBN, tidak mak­simal digunakan untuk mem­bangun SDM.

Kementerian Sosial ha­nya sebatas mengu­rus tetek bengek administrasi tanpa langsung menjadi garda ter­depan memba­ngun pelayan­an sosial secara maksimal. Seba­gai institusi sosial dari negara, peranan Ke­men­sos sangat vital untuk mening­katkan kesejahteraan ma­sya­­rakat. Peran vital ini semes­tinya didu­kung dengan ang­garan yang cukup. Meng­ingat masalah sosial dan tu­runannya sangat kompleks.

Masih banyak anak-anak Indonesia belum mendapat porsi untuk dilindungi oleh negara. Lihat saja, anak-anak pengamen jalanan, penyemir sepatu, anak gelandangan, berusaha hidup sendirian dijalanan kota-kota besar.

Per­juangan hidup mereka sungguh luar biasa. Umur yang seharusnya digunakan untuk bermain, diganti de­ngan berusaha mencari uang agar dapat bertahan hidup. Potret anak pinggiran sudah tidak asing lagi. Berbagai media massa mengekspose ke­hidupan mereka. Akan tetapi hanya se­batas berita entertaint yang laku dijual. Pad­ahal mereka adalah anak bangsa, anak kita, dan anak negara.

Penutup

Ada satu persoalan ten­tang kondisi anak di negeri ini. Negara seolah-olah melaku­kan penelantaran anak, dengan tidak mela­ku­kan perubahan mendasar untuk lebih me­lin­dungi hak anak. Berapa banyak kasus pe­nelantaran, kekerasan, pe­lecehan dan pem­­biaran ter­ha­dap anak, negara ha­nya ber­­gerak pada tataran kasus per kasus. Se­berapa kuat KPAI, sebagai institusi yang ditunjuk untuk mengelola permasalahan ibu dan anak, tanpa didukung oleh sarana dan pra­sarana yang mema­dai, mengingat keter­batasan mereka menjangkau wilayah yang luas ini.

Peranan keluarga pada akhirnya sangat menentukan terhadap permasalahan anak itu sendiri. Perubahan zaman yang begitu cepat, merubah fungsi keluarga luas (exten­­ded family) menjadi keluarga batih (nuc­lear family) tidak dipungkiri. Him­pitan ekono­mi, menyebabkan peran ibu, ayah, nenek, kakek, paman, bibi dan kera­bat lainnya, men­jadi longgar. Jaringan so­sial keluar luas atau besar, semakin lama memudar di­gantikan oleh keluarga batih. Keluarga batih, seperti ayah, ibu dan anak, telah kehi­langan peran dan tang­gung jawab untuk menjadi insti­tusi sosial terkecil dalam masya­rakat, yang dike­li­lingi oleh rasa individualis, materialis dan egois.

Semestinya pemerintah, masyarakat, keluarga, ber­si­nergi untuk mengelola per­soalan anak sebagai hal men­desak dan penting. Keterli­bat­an dan peran agama se­­bagai pedoman hidup harus diting­kat­kan. Salah satu penyebab munculnya kasus kekerasan dan pelecehan ter­hadap anak, be­rawal dari ku­rangnya pemahaman dan pe­laksanaan norma-norma agama di da­lam keluarga. Sen­tuhan nilai-nilai religi semakin memudar di tengah masyarakat, akibat dipenga­ruhi oleh nilai-nilai hedo­nisme, egoisme, dan indi­vidualisme yang tumbuh dan berkembang saat ini. Kasus kekerasan terhadap Angeline sebenarnya bukan hal baru. Arie Hanggara adalah con­­toh betapa rumah tangga sumber keke­jaman. Bocah berumur 8 tahun menjadi korban pe­nyiksaan ibu tirinya. Peris­tiwa ini terjadi pada Novem­ber 1984 silam.

Harapan kita, semoga ka­sus Angeline bisa diungkap secara jelas dan tuntas, se­hingga peristiwa ini menjadi peringatan bagi seluruh orang tua, keluarga, masya­ra­kat, negara dan bangsa untuk lebih peduli akan nasib dan kehidupan anak bangsa. Mereka lahir ke dunia bukan untuk didera dan disiksa. Me­reka lahir ke dunia untuk dilindungi dan dikasihi. Bu­kankah anak cerminan kita di masa depan?

Komentar
  1. Nanda berkata:

    Tulisan yg menarik, perlu dibaca banyak orang nih

Tinggalkan komentar