Omong Kosong Teks

Artikel ini dimuat di Harian Umum Kompas Oktober 2013

Beberapa tahun terakhir ini, seluruh tempat di Indonesia hampir lupa merayakan hari surat menyurat tanggal 9 Oktober. Padahal surat elektronik populer email mungkin secara historical bisa dipahami karena tanggal ini. Kita bahkan sudah mulai lupa tukang pos, motor orange dan perangko. Surat adalah sarana komunikasi untuk menyampaikan informasi tertulis suatu pihak kepada pihak lain. Menurut fungsinya, surat itu merupakan media pemberitahuan, permintaan, ide dan gagasan; alat bukti tertulis; alat pengingat; bukti historis; dan pedoman kerja. Intinya surat itu adalah suatu pesan. Menurut pengaruhnya, surat bisa menjadi kabar gembira ketika suatu rindu bahagia diukir dalam balutan kata-kata (teks). Namun surat pula bisa menjadi bencana, ketika teks itu menjadi ancaman.

Tanpa memaknai teks itu sebenarnya dibuat untuk apa, maka kita akan terus bermain dengannya (baca:teks). Ada kelas sosial yang harus dilindungi. Ada indvidu yang yang harus dipuaskan. Lalu kenapa orang yang sudah tahu teks (baca: aturan), berpura-pura tidak mengetahuinya. Teks hanya menjadi kata-kata kosong. Teks hanya menjadi suatu rule (aturan) yang mengikat untuk harus dilaksanakan. Disaat putusan pilkada sumba barat daya di Nusa Tenggara Timur harus diulang, teks memerintah untuk harus dilaksanakan. Namun di daerah-daerah krisis pilkada lainnya di Indonesia, tidak! Maka teks itu tidak lagi menjadi suatu keharusan. Teks hanya menjadi suatu mainan. Para pemain dipersilahkan untuk memilih bermain atau tidak.

Di pengadilan misalnya, suatu teks putusan eksekusi sita jaminan bisa pula dijadikan mainan para eksekutor pengadilan. Lihat saja berapa banyak kasus yang tidak mau mereka eksekusi hanya karena alasan aturan. Alasan diplomatis, pimpinan belum memberikan perintah (teks tulis/surat). Tapi ketika teks itu sudah memiliki penanggungjawab (ada tanda tangan), ternyata lagi-lagi teks tidak bisa dieksekusi karena alasan objek sitaan ternyata sudah “lenyap”. Lalu siapakah aturan itu? Masikah teks menjadi suatu aturan di dalam negara ini ataukah individu yang merupakan aturan.

Sebagai individu (tunggal), kita masing-masing memang memiliki niatan secara pribadi untuk menjalankan rules itu, namun terkadang justru aturan itu ada dalam kultur (individu dalam kelompok/organisasi). Teks itu juga bisa dimainkan ketika individu berada dalam kultur. “Dia” (individu) atas nama kultur memainkan peranan. Misalnya; “KAMI (para anggota KPU/MK/Polri, dll) sepakat untuk menjalankan aturan itu. Telah KAMI putuskan!” Kalimat singkat ini telah berubah dari textbook (tulisan) mejadi teks lisan. Pesan non verbal diubah menjadi pesan verbal.

Teks memang selalu berubah bentuk. Pengertian “penciptaan” sudah meluas dan mengacu pada pengertian “konseptualisasi” yaitu proses pemberian makna terhadap data melalui interpretasi. Sekali lagi, individu yang individu dan individu yang berkelompok harus bernegosiasi dengan teks. Kata “retorika” semakin kuat dinilai negatif karena akan menunjukkan orang hanya mengungkapkan kata-kata (teks lisan) kosong tanpa tindakan nyata. Kalaupun teks lisan itu diwujudnyatakan, maka yang paling banyak terjadi adalah karena sesuatu itu sudah menjadi bias. Bias karena ada kepentingan, bias karena sudah tertekan (juga ditekan), bias karena sudah ada korban. Bias karena salah satu teori konflik telah terjadi. Untuk yang terakhir ini, teks diwujudnyatakan ketika salah satu pihak sudah kalah dan pihak lain merasa tidak puas. Ancaman pemberontakan dan disintegrasi ditingkat lokal baru disadari para pemain setelah sesuatu yang buruk terjadi. Bahkan ada kelompok kedua yakni mereka yang sedari awal sudah tahu bahwa “teks” akan berubah menjadi pemberontakan dan disintegrasi. Mereka membiarkan!

Teks juga selalu berhubungan dengan media. Tidak-kah “para pemain teks” belajar dari teori media, bad news is a good news. Hari ini anda menjadi roles (pemeran) dari permainan teks yang dibuat. Argumentasi (opini, pendapat) anda dan bahkan suatu peristiwa akan dijadikan berita, tapi suatu saat good news is a good news. Penulis, penyair, narasumber (opinion leader), dan sebagainya dalam teori ini akan menjadi berita bagus karena “berhasil” dimaknai teks sebagai sesuatu yang menarik. Para pemain bisa “dibesarkan” teks, tetapi juga bisa “dikerdilkan” teks.

Jargon-jargon rasionalitas dan ilmu pengetahuan untuk membenarkan teks sudah tidak bisa dipertahankan. Memuja teks sebagai suatu sumber kebenaran diragukan jika para pemain tidak memberikan ideologi tentang fungsi teks yang benar. Benar dalam artian tidak menjadikan teks sebagai alat berperang. Para pemain menyederhanakan persepsi dan dan pengertian, bahkan kepercayaan dengan mengubah teks menjadi sesuatu yang berarti bagi satu pihak saja. Sebagai penerima pesan, kita memahami realitas teks itu sebagai sesuatu yang benar. Lagi-lagi teks tidak lebih dianggap sebagai aturan.

Rumah-rumah ibadah dihancurkan akibat teks (aturan). Teks diperintahkan dan diberikan tugas untuk memberikan gagasan bahwa rumah-rumah Tuhan itu aliran sesat. Tidak boleh dibangun karena belum ada IMB (teks), tidak ada ijin seperti surat tertulis dari tetangga, dan sebagainya. Para advokad juga kerap mendampingi klien mereka di-BAP di kantor Polisi, mereka sadar benar akan bahaya teks. Bahkan seorang rhetor, seperti Presiden dan pemimpin daerah dijajah teks. Harus ada tim khusus yang memeriksa teks itu berulang kali. Teks menjadi sesuatu yang tidak tulus, walapun ada alasan esensi. Banyak diedit!

Teks bisa menjadi Rule of law yang berperan sebagai variabel independen (melalui berbagai variabel antara) yang berpengaruh pada kinerja individu maupun kelompok, terutama kualitas pelayanan publik. Rule of law dan dapat juga menjadi sumber berbagai persoalan mal praktik administrasi, seperti korupsi dengan berbagai macam bentuknya (graft, bribery, nepotisme). Dalam banyak kasus ditemukan bahwa korupsi ini sebagai variabel antara yang paling sering muncul menjadi penyebab buruknya pelayanan publik, karena efek diskriminatif dan kebohongan publik yang ditimbulkan sebagai akibat praktek korupsi. Teks dari para pemain yang digunakan untuk mengkondisikan segalanya.

Rule of law dari teks mempunyai dimensi politik dan dimensi sosiologis dalam formulasinya maupun dalam implementasinya. Pada dimensi-dimensi inilah hanya moralitas sosial yang dapat memainkan peran yang penting untuk menjamin supaya rule of law dari teks berfungsi sesuai kaidahnya dan tidak menimbulkan dampak-dampak yang kontra-produktif.

Teks itu memang harus ditulis, mampu diucapkan dan dijalani dengan benar. Teks bisa salah, jika teks itu bertendesi mempermainkan dirinya sendiri. Para pemain kerap sadar menganggap teks memiliki kekuatan hukum. Teks dan “teks lisan” selalu bisa dijadikan alat berperang. Aturan hukum yang akan “bermain” dengan teks itu. Ia menjadi lex specialis derogate lex generalis.Para pemain membuat teks yang lebih menguntungkan kelompok mayoritas, punya uang, punya kuasa dan kelompok yang punya kebahagiaan. Kalaupun teks berpihak pada kita, maka teks cenderung kurang tegas dalam mengemukakan pandangannya. Teks bisa menjadi hegemoni baru. Selamat hari surat (teks) sedunia.

Komentar
  1. Anandia Fitri berkata:

    Wow, sarat makna semiotik

Tinggalkan komentar